Minggu, 28 April 2013

TINJAUAN TENTANG PERATURAN DAERAH (1)


TINJAUAN TENTANG PERATURAN DAERAH (1)

Menurut Van Der Tak dalam Aziz Syamsudin, peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat umum.[1]
Istilah perundang-undangan (legislation atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:
1)      Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
2)      Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara, yang merupakan hasil proses pembentukan peraturan-pearaturan, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Sedangkan ihwal definisi dari perudang-undangan menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni :
“peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-udangan”.[2]

Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 menyebutkan bahwa jenis dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia terdiri atas:
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang;
4.      Peraturan Pemerintah;
5.      Peraturan Presiden;
6.      Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam tataran pemerintahan local, aspek hukum dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah di era otonomi merupakan salah satu aspek yang sangat terkait dengan keseluruhan aktifitas penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah, dengan hubungan kemitraan antara DPRD selaku Badan Legislatif Daerah dengan Kepala Daerah beserta jajarannya selaku Lembaga Eksekutif Daerah, tercermin dari produk hukum yang dihasilkan, yakni berupa Peraturan Daerah baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
1.      Pengertian Peraturan Daerah
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sedang di dalam UU No 12 Tahun 2011 yang terdapat dua pengertian tentang peraturan daerah, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah, peraturan daerah di bentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk perturan perundang-undangan merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum nasional. Peraturan daerah yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh metode dan standar yang tepat sehingga memenuhi teknis pembentuka peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
2.      Landasan-Landasan Pembentukan Peraturan Daerah
Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indosesia, peraturan daerah dalam pembentukannya tunduk pada sas maupun teknik dalam penyusunan perundang-undangan yang telah ditentukan. Hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya adalah menyangkut tentang landasannya. Landasan yang dimaksud disini aadalah pijakan, alasan atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus dibuat.
Menurut Bagir Manan ada 4 Landasan yang digunakan dalam menyususn perundang-undangan agar menghasilkan perundang-undnagan yang tangguh dan berkualitas.[3]
a)      Landasan yuridis
Yakni ketentuan hukum yang menjadi dasar kewenangan (bevoegheid, competentie) pembuat peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam perundang-undnagan atau tidak. Hal ini sangat penting untuk disebutkan dalam perundang-undangan karena seorang pejabat/suatu badan tidak berwenang (onbevogheid) mengeluarkan aturan.
Landasan ini dibagi menjadi dua:
1)      Dari segi formil landasan ini memberikan kewenangan bagi instansi tertentu untukmembuat peraturan tertentu
2)      Dari segi materiil sebagai dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu
Landasan yuridis dari penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi 3 hal:
1)      Kewenangan dari pembuat perundang-undangan
2)      Kesesuaian bentuk dan jenis perauran perundang-undangan dengan materi yang diatur
3)      Keharusan mengikuti tata cara tertentu pembuatan perundang-undangan
Dalam suatu perundang-undangan landasan yuridis ini ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat”
b)      Landasan Sosiologis
Yakni satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup. Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat.[4]
Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dengan melihat kondisi sosial yang terjadi dalamasyarakat dalam rangka penyususnan suatu perundang-undnagnan maka tidak begitu banyak lagi pengarahan institusi kekuasaan dalam melaksanakannya.
c)      Landasan Filosofis
Yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar sewaktu menuangkan hasrat dan kebijakan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Suatu rumusan perundang-undnagan harus mendapat pembenaran (recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup maysarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita keadilan (idée der grerecthsigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der eedelijkheid).[5]
Dengan demikian perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofis grondflag) apabila rumusannya mendapat pembenaran yang dikaji secara filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi indul dari landasan filosofis ini adalah pancasila sebagai suatu sistem nilai nasional bagi sistem kehidupan bernegara.
d)     Landasan Politis
Yakni garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara, hal ini dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah (Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasioal (Propenas) sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di laksanakan selama pemerintahannya ke depan. Ini berarti memberi pengarahan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
Selain landasan tersebut diatas masih ada beberapa landasan yang dapat digunakan diantaranya, landasan ekonomis, ekologis, cultural, religi, administratif dan teknis perencanaan yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundang-undngan yang baik di semua tingkatan pemerintah.



[1] Van Der Tak dalam Aziz Syamsudin, 2011,  Proses dan Teknik Perundang-Undangan, Jakart: Sinar Garfika, hlm 13.
[2] UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[3] Bagir Manan dalam W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, 2009,  Legislatif Drafting Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
[4] Rosyidi Ranggawidjaja dikutip oleh Soimin, 2010, Pembentkan Peraturan Negara Di Indonesia.
[5] Budiman NPD , 2005 ,Ilmu Pengantar Perundang-Undnagan UII press Yogyakarta, hlm 33.

SISTEM RUMAH TANGGA DAN WEWENANG PEMDA


SISTEM RUMAH TANGGA DAN WEWENANG PEMDA


1.      Sistem Rumah Tangga Pemerintah Daerah
Pembangunan daerah sebagai bagian dari sistem pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah sebagai daerah otonom. Dimana pada prinsipnya otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tannganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Bagir Manan[1] mengemukakan ada 3 (tiga) sistem yang dapat dipergunakan untuk menetapkan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan teori isi rumah tangga.
a.       Sistem Rumah Tangga Formal
Dalam sistem ini pembagian wewenang , tugas dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengatur urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara rinci dan berpangkal pada prinsip bahwa tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Secara teoritik, sistem ini memberi keleluasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah,satu-satunya pembatasan asalah bahwa daerah tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh undang-undang.
b.      Sistem Rumah Tangga Materiil
Dalam sistem ini ada pembagian wewenang, tugas dan tangungjawab yang rinci antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang berpangkal tolak dari prinsip bahwa memang ada perbedaan mendasar antara urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Urusan yang masuk dalam urusan rumah tangga daerah ditetapkan secara pasti. Daerah hanya boleh mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya yang diserahkan kepada daerah, di luar itu tidak diperbolehkan. Sehingga dalam sistem ini tidak tergantung pada inisiatif dan prakarsa daerah yang bersangkutan.
c.       Sistem Rumah Tangga Riil
Dalam sistem ini terdapat urusan rangka dan daerah bebas mengatur dan mengurus segala urusan yang dianggap penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh pemerintah pusat. isi rumah tangga ditentukan oleh faktor-faktor nyata di daerah. Sistem ini memberi peluang pelanksanaan otonomi luas untuk daerah di Indonesia yang mejemuk sesuai dengan keadaan daerah masing-masing serta mengandungketentuan dengan tidak mengurangi kepastian daerah bebas berinisiatif mengembangkan urusan rumah tangga daerah dengan sistem pengawasan.
2.      Wewenang Pemerintah Daerah
Bentuk dan susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia dalam UUD 1945 Perubahan ke 4 (empat) Pasal 18 ayat (1) yakni:
“ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur Undang-Undang”.
Sedang Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa “pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.
Pasal 18 A ayat (1) menyebutkan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah propinsi, kabupaten, dan kota atau antara propinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Sedang Pasal 18 A ayat (2) menyebutkan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Sekalipun otonomi itu seluas-luasnya, namun urusan-urusan tertentu dalam Pasal 18 ayat (5) yang menjadi urusan pemerintah pusat sebagaimana terumus dalam kalimat “ kecuali urusan pemerintahan  yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”, sehingga ini menjadi dasar yuridis peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Terkait dengan ketentuan yang mengatur tentang urusan Pemerintahan Pusat disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 yakni bahwa urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat meliputi:
a.       Politik luar negeri;
b.      Pertahanan;
c.       Keamanan;
d.      Yustisi;
e.       Moneter dan fiskal; dan
f.       Agama.
Berdasarkan teori sisa, diluar urusan yang telah ditentukan menjadi wewenang pemerintah pusat, maka sisanya menjadi urusan atau wewenang dari pemerintah daerah, sehingga urusan yang dapat menjadi urusan pemerintah daerah yakni diluar dari 7 (tujuh) urusan pemerintah pusat di atas.
Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam setiap kebijakan yang akan dilaksanakan diatur atau dituangkan dalam bentuk sebuah produk hukum yang menjadi dasar hukum sebuah kebijakan pembangunan yang dikeluarkan. Hal ini berlaku baik di tingkat legislasi pusat maupun di daerah.
3.      Kewenangan Dalam Pembuatan Peraturan Daerah
Pemerintah dalam praktiknya akhir-akhir ini ketika membuat peraturan perundang-undangan (perda) masih memelukan pengaturan lebih lanjut sebagai akibat pendelegasian kewenangan.[2]
Desentralisasi sebagai penyerahan urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggungjawab menyangkut penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaan. Demikian pula perangkat pelaksananya adalah perangkat daerah.[3]
Untuk melaksanakan tugas otonomi yang diserahkan kepada daerah ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah dimana Perda yang ditetapkan untuk melaksanakan otonomi yang meliputi seluruh urusan rumah tangga yang menjadi kewenangan daerah. Dalam hal ini Kepala daerah akan bertindak mewakili pemerintah daerah dalam segala hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun privat.
Permasalahan muncul, apabila Kepala Daerah sebagai pembuat kebijakan yang dituangkan dalam perda maupun surat keputusan lain yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat, acapkali tidak sesuai dengan norma/teori hukum perundang-undangan. Sebagai contoh apabila terdapat keputusan yang dikeluarkan tanpa adanya wewenang untuk membuat produk hukum tersebut, akibatnya gejala tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam jenis peraturan perundang-undangan akan tetapi ditinjau dari fungsi maupu materinya mirip dengan peraturan perundang-undangan.



[1] Bagir Manan, 1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,  Jakarta: Sinar Harapan, hlm 26-32.
[2] Abdul Latif, 2006, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) Pada Pemerintah Daerah, Yogyakarta: UII Press, hll 7.
[3] Ibid hlm 10.

PENGERTIAN, FUNGSI, DAN ASAS PEMERINTAHAN DAERAH


PENGERTIAN, FUNGSI, DAN ASAS PEMERINTAHAN DAERAH

1Pengertian Pemerintahan Daerah
Perubahan ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) berbunyi :
“ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur Undang-Undang”.
Sedang Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.
Definisi Pemerintahan Daerah di dalam  UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut:
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
daerah.
 
Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan  diatas,maka yang dimaksud pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dimana unsur penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah.
2 Fungsi Pemerintah Daerah
Fungsi pemerintah daerah dapat diartikan sebagai perangkat daerah menjalankan, mengatur dan menyelenggarakan jalannya pemerintahAN.

Fungsi pemerintah daerah menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah :
a.       Pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
b.      Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.
c.       Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Dimana hubungan tersebut meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
3Asas Pemerintahan Daerah
Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah, sangat bertalian erat dengan beberpa asas dalam pemerintahan suatu negara, yakni sebagai berikut:
a.       Asas sentralisasi
Asas sentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana  sistem pemerintahan di mana segala kekuasaan dipusatkan di pemerintah pusat.
b.      Asas desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan dalam sistem Negara Kesatuan RepubliK Indonesia
c.       Asas dekonsentrasi
Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertical wilayah tertentu.
d.      Asas tugas pembantuan
Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daera dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau desa; serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk tugas tertentu.
      Asas desentralisasi dalam pemerintahan daerah di Indonesia dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, dimana terdapat penyerahan sebagian hak dari pemilik hak kepada penerima sebagain hak, dengan obyek tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah di tangan pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah, dengan obyek hak berupa kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, dengan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
      Ditinjau dari sudut penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi antara lain bertujuan meringankan beban pekerjaan Pemerintah Pusat. Dengan desentralisasi tugas dan pekerjaan dialihkan kepada Daerah. Pemerintah Pusat dengan demikian dapat memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional atau Negara secara keseluruhan.
      Dengan demikian, menurut hemat penulis desentralisasi merupakan asas yang menyatukan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Untuk itu semua prakarsa, wewenang dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan diserahkan sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu.
      Tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijaksanaan desentralisasi yaitu: tujuan politik dan tujuan administratif.
a.       Tujuan politik akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai terwujudnya civil society.
b.      Tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagi unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik.
Sejalan dengan pendapat tersebut, ide desentralisasi yang terwujud dalam konsep otonomi daerah sangat terkait dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu dalam desentralisasi terdapat 3 (tiga) dimensi utama, yaitu:
1)      Dimensi ekonomi, rakyat memperoleh kesempatan dan kebebasan untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga mereka secara relatif melepaskan ketergantungannya terhadap bentuk-bentuk intervensi pemerintah, termasuk didalamnya mengembangkan paradigma pembangunan yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Dalam konteks ini, eksploitasi sumber daya dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas, dilakukan oleh masyarakat lokal;
2)      Dimensi politik, yakni berdayanya masyarakat secara politik, yaitu ketergantungan organisasi-organisasi rakyat dari pemerintah;
3)      Dimensi psikologis, yakni perasaan individu yang terakumulasi menjadi perasaan kolektif (bersama) bahwa kebebasan menentukan nasib sendiri menjadi sebuah keniscayaan demokrasi.  Tidak ada perasaan bahwa “orang pusat” lebih hebat dari “orang daerah” dan sebaliknya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, tampak bahwa tujuan yang akan diwujudkan dengan dianutnya konsep desentralisasi adalah agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan (concentration of power) pada satu pihak saja, yakni Pemerintah Pusat. Dan dengan desentralisasi diharapkan terjadi distribusi kekuasaan (distribution of power) maupun transfer kekuasaan (transfer of power) dan terciptannya pelayanan masyarakat (public services) yang efektif, efisien dan ekonomis serta terwujudnya pemerintahan yang demokratis (democratic government) sebagai model pemerintahan modern serta menghindari lahirnya pemerintahan sentralistik yang sebenarnya sudah tidak populer. Pemerintahan sentralistik menjadi tidak popular karena tidak mampu memahami dan menterjemahkan secara cepat dan tepat nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di daerah, serta kurangnya pemahaman terhadap sentiment lokal. Salah satu alasan karena warga masyarakat merasa lebih aman dan tentram dengan badan pemerintah lokal yang lebih mengetahui keinginan, aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah, serta lebih baik secara fisik dan juga secara psikologis.
Kebijakan desentralisasi yang dijalankan di Indonesia sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi merujuk pada istilah tingkatan karena hubungan provinsi dan daerah kita bersifat coordinate dan independent. Distribusi fungsi diberikan pada provinsi atau pada tingkatan pertama dalam pembagian dan kabupaten atau kota setara dengan tingkatan ke dua. Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur distribusi fungsi pada pemerintahan desa yang setara dengan tingkatan ketiga. Namun dalam hal pelaksanaannya, distribusi fungsi pada pemerintahan desa dijalankan dibawah subordinasi dan bergantung pada daerah kabupaten atau kota.
Sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
Pemberian otonomi daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No. 32 Tahun 2004).
Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan nasional. Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan masyarakat setempat (lokal) di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat masyarakat tiap masyarakat lokal memiliki keunikan masing-masing, dengan demikian hanya cocok jika instrumen desentralisasi diterapkan.
Desentralisasi menurut berbagai pakar memiliki segi positif, diantaranya : secara ekonomi, meningkatkan efisiensi dalam penyediaan jasa dan barang publik yang dibutuhkan masyarakat setempat, megurangi biaya, meningkatkan output dan lebih efektif dalam penggunaan sumber daya manusia. Secara politis, desentralisasi dianggap memperkuat akuntabilitas, political skills dan integrasi nasional. Desentralisasi lebih mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya, memberikan/menyediakan layanan lebih baik, mengembangkan kebebasan, persamaan dan kesejahteraan.

Rabu, 24 April 2013


SITA MARITAL MENURUT UU NO.7 TAHUN 1989 Jo UU NO.3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Sita marital merupakan suatu pembagian harta bersama antara suami isteri yang akan melakukan perceraian. Selama proses perceraian itu masih berlangsung, gugatan sita marital dapat diajukan. Dalam perkawinan, terdapat 3 macam harta, yaitu harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan.
Harta bersama adalah harta benda yang didapatkan selama perkawinan tersebut berlangsung. Namun, adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau isteri.
Menurut M. Yahya Harahap dalam buku “Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan” (hlm. 369), memiliki tujuan utama untuk membekukan harta bersama suami-istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara atau pembagian harta bersama berlangsung. Pembekuan harta bersama di bawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari tergugat.
Dikarenakan sita marital merupakan bagian dari sita jaminan, maka alasan meminta sita maritalpun sama dengan alasan meminta sita jaminan., antara lain ada persangkaan yang beralasan dan contohnya dalam gugatan perceraian, Tergugat dianggap akan menggelapkan barangbarang, sehingga hal itu akan merugikan Penggugat.
Permohonan sita marital dapat dilakukan pada saat:
1.            Adanya gugatan perceraian
Tata cara permohonan sita marital dapat diajukan dalam surat gugatan dan dapat juga terpisah dari pokok perkara. Menurut  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, permohonan sita marital baru bisa diajukan apabila ada gugatan cerai.
Pasal 78 huruf c UU Peradilan Agama
 selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat, pengadilan dapat: menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

2.            Tanpa adanya gugatan perceraian
Selain dapat diajukan pada saat adanya gugatan perceraian,sita marital juga dapat dilakukan tanpa adanya gugatan perceraian.
Pasal 95 KHI
1)      Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2), huruf c  Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2),suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.
2)      Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
                                    
Dalam KHI tersebut dijelaskan bahwa permohonan sita marital dapat diajukan oleh suami isteri tanpa adanya gugatan cerai. Gunanya untuk melindungi harta bersama dari perbuatan salah satu pihak yang merugikan, seperti mabuk, judi, boros, dan sebagainya. Permohonan sita marital ini tetap diajukan tanpa memutus ikatan perkawinan, tapi harta bersama bisa dijamin pemeliharannya. Dan di jelaskan lebih lanjut bahwa saat berlangsungnya perceraian maka pengadilan agama dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.”

Pasal 136 ayat (2) KHI
 “Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atau permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat :
1)      menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
2)      menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.”