SITA MARITAL MENURUT UU NO.7 TAHUN
1989 Jo UU NO.3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Sita marital merupakan suatu pembagian harta bersama antara
suami isteri yang akan melakukan perceraian. Selama proses perceraian itu masih
berlangsung, gugatan sita marital dapat diajukan. Dalam perkawinan, terdapat 3
macam harta, yaitu harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan.
Harta bersama adalah harta benda yang didapatkan selama
perkawinan tersebut berlangsung. Namun, adanya harta bersama dalam perkawinan
itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau
isteri.
Menurut M. Yahya Harahap dalam
buku “Hukum Acara Perdata Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan” (hlm. 369), memiliki tujuan utama untuk
membekukan harta bersama suami-istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah
kepada pihak ketiga selama proses perkara atau pembagian harta bersama
berlangsung. Pembekuan harta bersama di bawah penyitaan, berfungsi untuk
mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan
yang tidak bertanggung jawab dari tergugat.
Dikarenakan sita
marital merupakan bagian dari sita jaminan, maka alasan meminta sita maritalpun
sama dengan alasan meminta sita jaminan., antara lain ada persangkaan yang
beralasan dan contohnya dalam gugatan perceraian, Tergugat dianggap akan
menggelapkan barangbarang, sehingga hal itu akan merugikan Penggugat.
Permohonan sita marital dapat dilakukan pada saat:
1.
Adanya
gugatan perceraian
Tata
cara permohonan sita marital dapat diajukan dalam surat gugatan dan dapat juga
terpisah dari pokok perkara. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, permohonan sita marital baru bisa diajukan apabila ada gugatan cerai.
Pasal 78 huruf c UU Peradilan Agama
selama berlangsungnya
gugatan perceraian, atas permohonan pengugat, pengadilan
dapat: menentukan hal-hal yang
perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
yang menjadi hak istri.
2.
Tanpa
adanya gugatan perceraian
Selain dapat diajukan pada saat
adanya gugatan perceraian,sita marital juga dapat dilakukan tanpa adanya
gugatan perceraian.
Pasal 95 KHI
1)
Dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2), huruf c Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2),suami atau istri dapat meminta
Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan
sebagainya.
2)
Selama masa sita
dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan
izin Pengadilan Agama.
Dalam KHI tersebut
dijelaskan bahwa permohonan sita marital dapat diajukan oleh suami isteri tanpa
adanya gugatan cerai. Gunanya untuk melindungi harta bersama dari perbuatan
salah satu pihak yang merugikan, seperti mabuk, judi, boros, dan sebagainya.
Permohonan sita marital ini tetap diajukan tanpa memutus ikatan perkawinan,
tapi harta bersama bisa dijamin pemeliharannya. Dan di jelaskan lebih lanjut
bahwa saat berlangsungnya perceraian maka pengadilan agama dapat menentukan nafkah yang harus
ditanggung oleh suami. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri.”
Pasal 136 ayat (2) KHI
“Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atau permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan Agama dapat :
1)
menentukan nafkah
yang harus ditanggung oleh suami.
2)
menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar