CEBONGAN DAN HAM DI INDONESIA
Masalah penegakan HAM dengan adanya
kasus penembakan di LP Cebongan Yogyakarta ramai di bicarakan dalam berbagai
forum maupun kajian hukum di Indonesia akhir-akhir ini. Tidak dapat dihindarkan
bila di tengah situasi seperti itu aturan-aturan tentang HAM menjadi lahan
pertarungan bagi kekuatan-kekuatan politik. Peralihan dari rezim Orde Baru yang
dipandang otoriter dan represif dengan sendirinya bergerak ke arah ketakmenentuan
yang tercermin di dalam arah penegakan HAM di Indonesia dewasa ini.
Penegakan HAM adalah amanat Pancasila
dan UUD 1945 yang semata-mata niscaya dilakukan dalam kehidupan demokrasi di
Tanah Air. Karena itu pula, penegakan HAM harus semata-mata berpegang pada
dasar falsafah kebangsaan kita serta konstitusi kenegaraan kita; bukan
didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik sesaat atau demi kepentingan
politik pihak-pihak lain. Seperti yang digambarkan oleh Plato dalam buku
Republic melalui ucapan Thrasymachus, yang mengatakan, "the just is
nothing else than the advantage of the stronger." Keadilan dan hukum tiada
lain adalah yang menguntungkan bagi yang paling kuat.
Demikian pula, penegakan HAM sering kali
menjadi instrumen untuk memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dengan
mendesakkannya melalui pengerahan kekuatan politik dan ekonomi, baik berupa
kekuatan massa, media, maupun finansial. Dalam kondisi seperti ini, penegakan
HAM cenderung tidak konsisten dan bersifat selektif pada kasus-kasus yang
memberikan keuntungan secara politis atau ekonomi bagi suatu kekuatan politik.
Keterpurukan hukum di Indonesia hingga sekarang meliputi tiga
unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu
struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal
culture).
1.
Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam
sistem hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan hukum seperti
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, serta hirarki peradilan dari yang
terendah (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang
tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada
institusi-institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan
dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang menjamin
resistensi institusi-institusi penegakan hukum terhadap intervensi politik dari
pihak lain serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat
penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan
proporsional, termasuk dalam penegakan HAM.
2.
Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku
nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya
berupa keputusan keputusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang
hidup (living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam kitab
undang-undang (law books). Yang menjadi problem dari substansi ini
adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia yang
memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat dalam
bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum diluar yang tersebut
serta memandang prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum
tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran. Hal
ini dapar di simpulkan bahwa para elit politik, memandang hukum yang tertulis
sebagai penjelmaan dari otoritas yang mereka bangun sebagi alat kekuasaan.
3. Kultur
hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang merupakan
ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi
bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan. Sebagai gambaran,
bahwa hukum yang ada dapat dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan, maupun
dapat dihindari dari kemungkinan-kemungkinan terjadi jeratan hukum, serta hukum
dapat disalahgunakan oleh para elit politik pemegang kekuasaan demi
kepentingan-kepentingannnya.
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga
unsur sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita,
sehingga sangatlah mungkin apabila muncul beberapa kasus “serangan balik” atas
adanya pelanggaran HAM yang terlebih dulu terjadi karena ketidak puasan atas
penegakan hukum di Indonesia.
Kita tetap harus melihat masalah
penegakan HAM sebagai agenda mendasar dalam proses demokratisasi di Indonesia. Dan
sebagai negara hukum, prinsip jaminan atas HAM merupakan prinsip yang harus
dijunjung tinggi dan diwujudkan seadil-adilnya bagi masyarakat Indonesia. Akan
tetatpi dalam prosesnya harus berdasarkan pada nilai-nilai dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jangan sampai, kasus pelanggaran
HAM yang terjadi menjadi sarana politik oleh beberapa pihak yang mengambil
keuntungan dari ketidak berdayaan hukum di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar