KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI
INDONESIA
Oleh: Dian Kus Pratiwi
A. PENDAHULUAN
Lembaga
Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga baru yang lahir berdasarkan pasal 2
ayat 1 Juncto pasal 22 C dan D Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen.
Pemikiran tentang Lembaga Dewan Perwakilan Daerah ini didasarkan atas beberapa
pertimbangan antara lain diadakan atau dibentuk untuk menganti anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat dari unsur Utusan Daerah yang tidak dapat mencerminkan
aspirasi daerah (Bagir Manan, 2001:60).
Hal tersebut disebabkan karena pada waktu itu anggota majelis dari unsur utusan
daerah banyak yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, dan DPRD (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah) Provinsi. Hal ini sangat tergantung pada kekuatan politik di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang lebih gampang untuk direkayasa, karena bisa saja
anggota perwakilan tersebut bukan berasal dari daerah yang diwakili sehingga
kurang dapat menyalurkan aspirasi daerah yang diwakilinya.
Ada
juga pemikiran yang mendorong lahirnya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah itu
ialah keikutsertaan daerah dalam Utusan Daerah di Majelis Permusyawaratan
Rakyat sangat terbatas yaitu pada saat sidang-sidang majelis saja (Bagir Manan, 2001:63). Sedangkan dalam
peraturan yang baru maka Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun berdasarkan pasal 22 C ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen
keempat. Selain itu, lahirnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah ialah untuk
meningkatkan keikutsertaan rakyat daerah terhadap jalannya politik serta
pelaksanaan pemerintah negara (Bagir
Manan, 2001:66). Selain itu muncul pemikiran lagi yakni lahirnya Dewan
Perwakilan Daerah ingin merubah sistem Badan Perwakilan Rakyat menjadi sistem
Badan Perwakilan Rakyat menjadi sistem dua kamar (Bicameral) seperti Amerika Serikat.
Selama
ini menurut Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen, di Indonesia
mempunyai dua lembaga atau Badan Perwakilan Rakyat yakni Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing menjadi
lembaga tinggi negara, kemudian secara otomatis anggota Dewan Perwakilan Rakyat
menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ditambah Utusan Daerah dan Wakil
Golongan. Padahal yang lazim dalam satu negara hanya ada satu badan perwakilan
rakyat yang dipecah menjadi dua kamar, kamar satu mewakili rakyat seluruh
negara, kamar lain mewakili rakyat daerah atau rakyat negara bagian, badan
perwakilan ini memegang kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan untuk membuat
peraturan perundang-undangan.
Di
samping apa yang sudah disebutkan di atas, maka jika dihubungkan dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, supaya daerah
mempunyai hak otonom yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya sendiri maka dibentuklah lembaga Dewan Perwakilan Daerah tersebut
dengan harapan lembaga ini dapat menyalurkan aspirasi masyarakat daerah yang
lebih luas pula.
Di
tinjau dari isi hukum serta bahasa hukum peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Dewan Perwakilan Daerah ada beberapa ketentuan yang kurang
konsisten baik itu ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun
ketentuan yang ada dalam undang-undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, DPRD yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003.
B. PEMBAHASAN
Menurut
pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen yang berbunyi :
"Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Sedangkan ketentuan baru pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah
diamandemekan menyatakan : "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang"
(perubahan amandemen keempat).
Dari
kedua ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa: Anggota MPR dari unsur
utusan daerah dahulu ditunjuk oleh DPRD Provinsi setempat, hal ini akan sangat
tergantung pada kondisi kekuatan politik di DPRD yang setiap saat dapat berubah
serta dapat direkayasa. Untuk menghilangkan kesan tersebut maka dalam ketentuan
yang baru anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih melalui pemilihan umum agar
lebih demokratis karena pilihan rakyat sendiri sehingga tidak bisa direkayasa
oleh elit politik.
Berdasarkan
bunyi Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 lama : "Majelis
Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota
negara", tetapi menurut UUD 1945 yang baru pasal 22 C ayat 3 "Dewan
Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun" (Amandemen
ketiga). Dengan peraturan di atas maka ini merupakan suatu evaluasi atau
penilaian serta untuk menyempurnakan Sistem Utusan Daerah yang selama orde baru
hanya bersidang dua kali dalam lima tahun, karena adanya sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Pemikiran
untuk merubah Badan perwakilan rakyat yang monocameral (MPR) menjadi sistem dua
kamar (bicameral) yaitu DPR dan DPD dimaksudkan seperti Badan Perwakilan di
Amarika Serikat yang dinamakan congress terdiri dari House of Representative sebagai perwakilan seluruh rakyat negara
feodal AS (DPR di Indonesia) dan senat sebagai wakil negara bagian (DPD di
Indonesia).
Salah satu konsekuensi dua kamar (terdiri dari DPR dan
DPD), perlu nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan dua unsur perwakilan
tersebut, seperti congress sebagai
nama badan perwakilan yang terdiri dari Senate
dan House Representatives. Di
kerajaan Belanda wadah badan perwakilan adalah "Staten General"yang terdiri dari de Earste
Kamer(Perwakilan dari Daerah) dan De
Tweede Kamer(Perwakilan seluruh rakyat). Di Inggris badan perwakilan
bernama Parliament yang terdiri dari house of Lords (perwakilan golongan) dan
house of Commons (perwakilan seluruh
rakyat). Begitulah yang terjadi pada
setiap negara dengan sistem perwakilan dua kamar (Bagir Manan, 2003 : 54).
Nampaknya nama yang diinginkan untuk badan
perwakilan dua kamar di Indonesia adalah tetap memakai nama "Majelis
Permusyawaratan Rakyat". Oleh karena itu konsekuensinya adalah MPR tidak
lagi menjadi suatu lingkungan jabatan tersendiri yang mempunyai wewenang
sendiri. Jadi wewenang MPR yang baru melekat pada wewenang DPR dan DPD. Akan
tetapi kalau melihat ketentuan Pasal 2 (1) dan pasal 3 (1,2,3) UUD 1945 sebelum
diamandemen hanya ada dua badan perwakilan tingkat pusat yang terpisah.
Sekarang dengan hadirnya DPD ada tiga badan perwakilan. Sehingga walaupun ada
perubahan-perubahan terhadap MPR tapi MPR tetap mempunyai wewenang sendiri
secara original, yang berada diluar wewenang DPR dan DPD.
Secara sepintas lembaga DPD seolah-olah
merupakan lingkungan jabatan yang berdiri sendiri serta mempunyai wewenang yang
mandiri. Tetapi jika kita perhatikan pasal 22 D (1) UUD 1945 baru yang isinya
sama dengan pasal 42 (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD berbunyi :
"DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah hubungan pusat dan daerah
... dst" Kemudian kita perhatikan pasal 22 D (3) UUD 1945 baru dimana
isinya juga sama dengan pasal 46 (1) UU No 22 Tahun 2003 mengenai SUSDUK
menyatakan "DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
... dst serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindakianjuti".
Dari ketentuan dua pasal yang sama
tersebut di atas dapatlah dicermati bahwa lembaga DPD bukanlah merupakan badan
legislatif yang penuh dan mandiri. Hal ini dapat kita lihat dari kata-kata
"dapat" dan "sebagai bahan pertimbangan". Ternyata DPD
hanya berwenang mengajukan serta memudahkan rancangan undang-undang di bidang
tertentu saja seperti telah disebutkan secara rind di dalam UUD 1945 yang baru
yaitu antara lain undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi serta undang-undang yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Terhadap rancangan undang-undang
yang lain kekuasaan pembentukannya tetap ada pada DPR dan Pemerintah. Jadi pada
dasarnya DPD itu tidak memegang kekuasaan membentuk Undang-undang, DPD hanya
dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sehingga DPD tidak
mempunyai hak inisiatif yang mandiri. Ketentuan pasal 43 (2) UU No. 22 Tahun
2003 "DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan
undang-undang ... bersama dengan pemerintah pada awal pembicaraan tingkat
pertama ..." kemudian pasal 43 (2) "Pembicaraan Tingkat I DPR, DPD
dan pemerintah menyampaikan pandangan dan tanggapan ..." selanjutnya pasal
43 (4): "pandangan dan tanggapan ... dijadikan sebagai masukan untuk
pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah".
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa
betul-betul DPD adalah bukan badan legislatif, apalagi jka dihubungkan dnegan
maksud adanya sistem dua kamar. Karena disini meskipun DPD berhak mengajukan
rancangan, ikut membahas, memberi tanggapan serta pandangan terhadap suatu
rancangan undang-undang namun hanya pada tingkat pertama saja, sedangkan
pembahasan lebih lanjut dilakukan oleh DPR dan pemerintah.
Menurut Bagir Manan pangkal kekeliruan
adalah:
1.
Pasal
20 (1) UUD 1945 perubahan pertama tahun 1999. Ketentuan ini dibuat sebelum ada
DPD sudah semestinya pasal 20 (1) mendapat peninjauan ulang pada saat disetujui
terbentuknya DPD lebih-lebih bila ditinjau dari gagasan dua kamar. Yang terjadi
justru amputasi terhadap DPD sehingga didapati substansi yang anomali bila
dilihat dari kedudukannya sebagai badan perwakilan
2.
Kalau
diperhatikan dengan sistem dua kamar, wewenang tersebut mestinya ada pada wadah
tempat DPR dan DPD bernaung, bukan pada masing-masing badan. (Bagir Manan, 2003: 62)
Dengan
demikian makin jelas bahwa kehadiran DPD tidak dimaksudkan untuk mengubah
sistem monocameral menjadi bicameral (dua kamar). Berdasarkan
ketentuan-ketentuan di atas kiranya dapat dirumuskan prosedur urutan DPD dalam
mengajukan usul rancangan undang-undang kepada DPR:
a.
DPD menyusun rancangan undang-undang
b. Rancangan undang-undang tersebut kemudian
diajukan kepada DPR
c. Oleh DPR rancangan undang-undang tersebut
akan diterima atau ditolak atau diterima tapi dengan perubahan.
d. Selanjutnya rancangan undang-undang yang
diterima DPR dengan atau tanpa perubahan lalu diajukan kepada pemerintah untuk
dibahas bersama DPR dan DPD pada pembicaraan tingkat I (pasal 43 (2) UU No. 22
Tahun 2003)
e. DPR, DPD dan pemerintah masing-masing
saling memberikan tanggapan, pandangan, serta pendapat (pasal 43 (3)).
f. Tanggapan, pandangan dan pendapat tersebut
pada ayat 3 kemudian dijadikan sebagai masukan untuk dibahas lebih lanjut oleh
DPR dan pemerintah (pasal 43 (4))
Uraian di atas menunjukkan bahwa DPD tidak
diikutsertakan dalam pembahasan RUU pada pembicaraan tingkat selanjutnya, DPD
hanya diikut sertakan pada pembicaraan tingkat I saja, pembicaraan selanjutnya
hanya dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Oleh Bagir Manan dikatakan "
... hal tersebut tidak berlebihan kalau DPD menjadi semacam biro perancang
undang-undang DPR ..." (Bagir Manan, 2003: 63).
Semula DPD dibentuk untuk dapat mewakili
serta ikut mengelola kepentingan daerah. Juga dimaksudkan untuk meningkatkan
peran serta daerah. Seharusnya DPD sebagai unsur badan legislatif seperti Senat
di Amerika Serikat yaitu sebagai cara mengikat sertakan daerah di dalam
menentukan politik dan penyelenggaraan negara melalui pembentukan undang-undang
dan mengawasi jalannya pemerintahan, jadi tidak sekedar persoalan-persoalan
daerah.
Pasal 44 (1) UU No. 22 Tahun 2003
menentukan :"DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama". Dari ketentuan tersebut menunjukkan DPD lebih
lemah lagi karena DPD hanya memberi pertimbangan saja untuk sebuah rancangan.
Padahal dalam undang-undang APBN, pendidikan, pajak dan agama justru harus
dibahas bersama DPD karena tidak saja menyangkut politik negara tetapi
menyangkut pula kepentingan daerah.
Pasal 22 D (2) UUD 1945 baru isinya sama
dengan UU No 22 Tahun 2003 Pasal 43 (1) "DPD ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan dan agama". Disini perlu mendapat bahasan
ialah kata "ikut" dan "memberi pertimbangan" sepintas lalu
kata-kata tersebut memberikan peran kepada DPD pada hal sebenarnya tidak. DPD
tidak mempunyai hak untuk menolak rancangan undang-undang, bahkan hak untuk
melakukan perubahanperubahan, seperti House
of Lords di Inggris" (Bagir Manan, 2003 : 66).
Pasal 22 D (3) UUD 1945 baru = Pasal 46
(1) UU No. 22 Tahun 2003 "DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang ... dst ... serta menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti".
Kata-kata "dapat" dan
"sebagai bahan pertimbangan" menurut teori konstitusi fungsi
pengawasan DPD tidak bersifat imperaktif, tidak dapat dipahami suatu rumusan
dalam UUD mengandung kaidah persuasif belaka, hal tersebut menunjukkan
kurangnya pemahaman tentang rumusan normatif muatan UUD. Rumusan UUD tidak
boleh mengambang karena merupakan dasar bagi aturan hukum, kebijakan dan segala
tindakan negara. Dengan rumusan yang ketat saja masih bisa timbul sengketa
konstitusi. (Bagir Manan, 2003 : 66). UUD merupakan norma-norma hukum yang ada
dalam aturan dasar negara atau aturan pokok negara yaitu dalam Veerassungsnorm,
maka rumusannya harus normatif (Maria Farida, 1998 : 41).
Pasal 22 D (4) "Anggota DPD dapat
diberhentikan dari jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang". Sebetulnya tidak perlu kata dapat, sebab kalau syaratnya
dipenuhi, maka harus diberhentikan.
Pasal 22 C (1) UUD 1945 Baru sama dengan Pasal
UU No. 22 Tahun 2003 "Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum" berarti hanya penduduk yang bermukim di provinsi itu yang
dapat menjadi calon dan dipilih menjadi anggota DPD. Kata provinsi menunjukkan
anggota DPD mewakili rakyat provinsi sama seperti anggota senat Amerika Serikat
yang mewakili negara bagian. Pada waktu dulu sebelum amandemen UUD 1945 utusan
daerah yang menjadi anggota MPR dipilih oleh DPRD Provinsi, dan ini sangat
bergantung pada kekuatan politik DPRD Provinsi yang bersangkutan dan ini lebih
gampang untuk direkayasa dibandingkan kalau dipilih secara langsung lewat
pemilihan umum. Memang jika dipilih langsung akan menggurangi kualitas wakil
yang dipilih itu, akan tetapi ini bisa diatasi dengan mengadakan seleksi calon
dan persyaratan hukum lain-lain.
Pasal 22 C (2) UUD 1945 Baru sama
dengan pasal 33 (1) UU No. 22 Tahun 2003
"Anggota DPD dari setiap Provinsi jumlahnya sama yaitu ditetapkan sebanyak
4 orang, jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR".
Menurut Bagir Manan bunyi pasal 22 C (2) UUD dapat dipecah menjadi:
-
Jumlah anggota DPD sama dari setiap provinsi yaitu 4
orang
-
Seluruh jumlah anggota DPD tidak lebih 1/3 anggota DPR
Dengan jumlah
anggota yang ditentukan tadi menunjukkan adanya pendekatan politik jadi bukan
pendekatan hukum karena jumlah anggota DPD akan selalu bergeser sesuai dengan
pergeseran jumlah anggota DPR.
Pasal 22 C (4) UUD 1945 baru "Susunan
dan kedudukan DPR diatur dnegan undang-undang". Kalau susunan dan
kedudukan DPR diatur dengan UUD sedang mengenai DPD hanya diatur dalam
undang-undang. Jadi hal ini mengatur kaidah konstitusional dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah. Dari seluruh uraian tersebut di atas ada
kesan bahwa pengada kesan bahwa pengaturan mengenai DPD masih dilakukan belum
sepenuhnya karena jika ada berbagai kekosongan akan diatur dengan
undang-undang.
Kembali pada persoalan sistem dua kamar,
suatu hal yang perlu diketahui, sistem satu atau dua kamar tidak terkait dengan
landasan bernegara tertentu. Juga tidak terkait dengan bentuk pemerintahan atau
sistem pemerintahan tertentu, setiap negara memiliki pandangan serta
pertimbangan sendiri. (Bagir Manan, 2001 : 37)
C. PENUTUP
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas maka
disimpulkan bahwa:
1.
Dengan
dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah ternyata tidak untuk menggantikan
keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari unsur utusan daerah, karena
menurut ketentuan-ketentuan yang baik dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen
maupun UU. No. 22 Tahun 2003 tentang SUSDUK keberadaan DPD tidak dapat
mencerminkan aspirasi dan keterwakilan rakyat daerah di pemerintah pusat. DPD
yang semula dihajadkan untuk mewakili rakyat daerah ternyata hanya sebatas
menyarankan memberi pertimbangan dan dapat ikut serta saja. Keputusan
secara final tetap ada pada pemerntah pusat.
2.
Kehadiran lembaga Dewan Perwakilan Daerah juga untuk
tidak mengubah sistem monocameral menjadi bicameral (sistem dua kamar) karena
hingga saat ini MPR tetap merupakan lingkungan jabatan kerja tetap tersendiri.
Di luar wewenang DPR dan DPD. (pasal 3 UUD 1945 baru). DPD seolah-olah
merupakan lingkungan jabatan yang mandiri, tetapi tidak kita perhatikan pasal
22 D UUD 1945 baru maka DPD hanyalah sebuah badan komplementer/ pelengkap dari
DPR.
3.
Ternyata lembaga Dewan Perwakilan Daerah ini bukan
merupakan badan legislatif yang penuh, karena DPD hanya berwenang mengajukan
serta membahas undang-undang di bidang tertentu saja yang sudah disebutkan
secara rinci dalam UUD maupun UU SUSDUK. DPD hanya berhak memberi pandangan,
pendapat, tanggapan pada pembahasan RUU di tingkat pertama, sedang pembahasan
berikutnya menjadi wewenang DPR dan pemerintah. DPD tidak lagi turut serta.
Dalam hal pengawasan pelaksanaan undang-undang DPD hanya berwenang memberikan
pertimbangan kepada DPR untuk ditindak lanjuti.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan. 2001. Teori dan Politik Konstitusi. Jakarta : Dirjen Dikti Dep Dik Nas.
Bagir Marian. 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 baru. Yogyakarta : FH U I I Press.
Hadi Setia Tunggal. 2000. Pedoman Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan. Jakarta : Harvarindo.
Maria Farida Indrati Soeprato. 1998. llmu Perundang-Undangan. Yogyakarta :
Kanisius.
Soehino. 1980. Perkembangan Pemerintahan Di Daerah. Yogyakarta : Liberty.
Sohino. 1981. Hukum Tata Negara (Tehnik
Perundang-Undangan). Yogyakarta : Liberty.
Sri Sumantri. 1986. Tentang lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung : Alumni.
S. Toto Pandoyo. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai LembagaLembaga Negara
Dan Pemerintah Pusat.
Persandingan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat
Jendral MPR RI. Jakarta. 2002
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar