FUNGSI
DAN WEWENANG DPR DAN DPD DALAM MEKANISME CHECK
AND BALANCES MENURUT UUD 1945 PASCA AMANDEMEN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Terobosan
luar biasa telah dilakukan pemerintahan reformasi ketika secara berani
mengamandemen UUD 1945. Tidak tanggung-tanggung, amandemen dilakukan sebanyak
empat kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Padahal pada pemerintahan
Orde Baru yang dipimpin Soeharto, UUD 1945 disucikan dan haram hukumnya untuk
diutak-atik, dikritik, dan apalagi diubah. Meskipun merupakan suatu prestasi,
tetapi hasil amandemen tersebut masih menyisakan problematika. Problematika
tersebut semakin nyata ketika UUD 1945 hasil amandemen diterapkan.
UUD
1945 versi asli menempatkan presiden sebagai sentral dari kekuasaan. Hal ini
dapat dilihat pada pengaturan mengenai kewenangan presiden yang relatif tidak
seimbang dengan bidang kekuasaan lainnya. Di bidang legislasi misalnya,
presiden memiliki kewenangan yang cukup besar, sementara DPR hanya sebagai
lembaga yang menyetujui legislasi yang diajukan presiden. Besarnya kekuasaan
presiden (eksekutif) telah dibuktikan oleh dua pemerintahan
sebelumnya, demokrasi terpimpin Soekarno dan orde baru Soeharto.
Salah
satu hal yang mendasari amandemen UUD 1945 adalah semangat untuk membatasi
kekuasaan eksekutif dan memberdayakan DPR. Melalui amandemen pertama (1999),
kekuasaan presiden dipangkas dan kekuasaan DPR ditambah. Kewenangan legislasi
yang dimiliki presiden dalam Pasal 21 telah diubah sehingga presiden hanya
mempunyai hak untuk mengajukan RUU. Sementara dalam UUD 1945 versi asli
dinyatakan bahwa, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR”. Selain itu, masa jabatan presiden dibatasi secara tegas. Hak
diplomatik presiden, seperti mengangkat duta besar, konsul, dan menerima duta dari
negara lain dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 2
Amandemen I).
Pada
amandemen kedua, DPR diberi hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan
pendapat. Selain itu, setiap anggota DPR mempunyai hak untuk mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas (Pasal 20A).
Penambahan kekuasaan DPR dan pemangkasan kekuasaan
presiden tersebut dalam prakteknya telah mengakibatkan kekuasaan terpusat pada
DPR (legislative centered). Checks and balances antara
dua kekuasaan ini juga tidak terjadi dalam pembentukan UU. DPR mempunyai posisi
yang determinan dalam penyusunan UU, termasuk juga penyusunan APBN. Hal ini
tentu saja dapat mengacaukan agenda-agenda pemerintahan yang telah dirancang
sebelumnya. Checks and balances juga tidak terjadi ketika
presiden tidak diberi kekuasaan semacam hak veto untuk menolak undang-undang
yang telah disahkan oleh DPR. Apalagi ketika Pasal 20 diubah melalui amandemen
kedua, yang menentukan bahwa, “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh
hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
Semangat
amandemen untuk memberdayakan DPR dan mengurangi kekuasaan presiden berdampak
negatif ketika UUD 1945 hasil amandemen diterapkan. Kewenangan interpelasi yang
dimiliki DPR menjadi alat untuk mengintervensi kebijakan presiden. Melalui hak
interpelasi ini, DPR bahkan dapat menjatuhkan presiden sebagaimana terjadi pada
Abdurrahman Wahid.
Melalui
amandemen, struktur lembaga legislatif juga diubah. Selain perwakilan rakyat
(DPR), lembaga legislatif diisi pula dengan perwakilan daerah, yang disebut
dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sehingga dalam lembaga perwakilan MPR,
terdapat dua kamar lain yakni DPR dan DPD, yang lazim disebut dengan sistem
bikameral.
Pemikiran tentang Lembaga Dewan
Perwakilan Daerah ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain
diadakan atau dibentuk untuk menganti anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
dari unsur Utusan Daerah yang tidak dapat mencerminkan aspirasi daerah. Ada
juga pemikiran yang mendorong lahirnya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah itu
ialah keikutsertaan daerah dalam Utusan Daerah di Majelis Permusyawaratan
Rakyat sangat terbatas yaitu pada saat sidang-sidang majelis saja (Bagir Manan,
2001:60-63).
Bersama
DPR, DPD diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlementer dua kamar
dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika DPR merupakan parlemen
yang mewakili peduduk DPD adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daearah
dalam hal ini provinsi. Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan
sistem bikameral. DPD yang semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar,
tidak mempunyai kekuasaan yang memadai. Kewenangan DPD hanya terbatas pada
kekuasaan-kekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta masalah perimbangan keuangan pusat
dan daerah (Pasal 22D UUD 1945). Di luar itu, kekuasaan DPD hanya memberi
pertimbangan kepada DPR. Dengan demikian, keberadaan DPD relatif tidak
berfungsi.
Meskipun
merupakan representasi daerah-daerah yang telah dipilih langsung oleh rakyat
namun keberadaan DPD dapat di ibaratkan anatara ”ada dan tiada”. Betapa tidak
karena fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas tidak seperti
yang dimiliki oleh DPR. Dampak lainnya adalah, tidak terjadi checks and
balances antara DPR dan DPD itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Fungsi
dan Wewenang DPR dan DPD dalam Mekanisme Check
and Balances menurut UUD 1945 Pasca Amandemen?
PEMBAHASAN
A.
Fungsi dan Wewenang DPR dan DPD dalam Mekanisme Check and Balances
Perubahan
UUD 1945 menegaskan adanya keseimbangan dan kesejajaran antara lembaga-lembaga
tinggi negara, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Reformasi konstitusi
juga menghasilkan perubahan yang cukup mendasar dalam sistem ketatanegaraan
kita yaitu dengan pengaturan kembali lembaga-lembaga yang mengemban amanat
konstitusi termasuk pembentukan lembaga-lembaga konstitusional baru.
Secara
legal formal terdapat tiga lembaga perwakilan rakyat di Indonesia menurut UUD
1945 (hasil amandemen) yakni MPR, DPR dan DPD. MPR merupakan lembaga perwakilan
tersendiri yang didalamnya memiliki fungsi dan kewenangan berbeda dengan DPR
dan DPD, meskipun keanggotaannya terdiri dari DPR dan DPD.
Kedudukan
DPR sebagai lembaga perwakilan sangat kuat dengan kekuasaan yang cenderung
berlebihan yang dibrikan oleh UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 11, Pasal 13 ayat (2) dan
(3), Pasal 14 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21 dan Pasal 22
ayat (2) dan (3). Sebagai lembaga perwakilan DPR mempunyai beberapa fungsi
yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk
melaksanakan fungsi-fungsi tersebut DPR mempunyai tugas dan wewenang.
Sesuai dengan pasal 22D ayat
(1),hanya DPR dan DPD yang bersentuhan dengan bidang pembentukan undang-undang
secara lengkap pasal 22D ayat (1) menyatakan DPD dapat mengajukan kepada DPR
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,pengelolaan sda dan
sumber daya ekonomi laenya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan
daerah.
Mencermati ketentuan Pasal tersebut
ada 2 (dua) kesimpulan. Pertama DPD hanya dapat mengajukan rancangan
undang-undang ke DPR, hal tersebut jelas berbeda dengang ketentuan Pasal 5 ayat
(1) dan pasal 21 uud 1945 yang menyatakan Presiden dan DPR berhak mengajukan
rancangan undang-undang. Menurut Sivitri Susanti, kata dapat dalam Pasal 22D
ayat (1) tersebut membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan legislasi yang efektif.
Kedua, lingkup rancangan
undang-undang yang dapat diajukan oleh DPD sangat terbatas, yakni hanya untuk
urusan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.
Pengaturan fungsi legislasi DPD
berlanjut pada Pasal 22D ayat (2) UUD 1945
yang berbunyi DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah,pengelolaan sda dan sumber daya ekonomi laenya, serta
berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Frasa ikut membahas dan memberikan
pertimbangan dalam pasal tersebut sangat tidak sebanding dengan wewenang DPR
bersama presidem dalam pembahasan dan persetujuan bersama dalam membuat UU.
Dengan kewenanganya yang terbatas
itu, Saldi Isra secara tegas menyatakan bahwa DPD tidak dapat dikatakan
mempunyai fungsi legislasi. Lebih lanjut Saldi Isra mrnyatakan bahwa
"fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses
pengajuan samapi menyetujui rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi
legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya Pasal 22D ayat (1) tersebut dimana
kekuasaan membentuk uu berada ditangan DPR. Dengan menggunakan cara a contrario, sebagai bagian dari lembaga
perwakilan rakayat yang dapat mengajukan dan ikut membahas ruu bidang tertentu
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (2) DPD tidak mempunyai fungsi
legislasi (Saldi Isra, 2000:348).
Melihat
pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki
wewenang membentuk undang-udang bersama-sama DPR dan Presiden. Wewenang DPD
hanya terbatas dan di persempit karena DPD hanya memberi pertimbangan
seolah-olah DPD hanya sebagai dewan pertimbangan DPR dan Presiden saja. UUD
1945 secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi yang dimiliki
oleh DPD. Hal ini terlihat dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 A ayat (1),
begitu juga dengan apa yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2003
tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Dari
ketentuan perundang-undangan tersebut jelas terlihat bahwa DPD hanya ikut
membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi
pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangaanya. Dan dari ketentuan
perundang-undangan tersebut juga jelas terlihat bahwa sistem bicameral yang
dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bicameral
umum dalam teori-teori kenegaraan, yakni fungsi parlemen yang dijalankan oleh
dua kamar berimbang (balances) dalam
proses legislasi dan pengawasan.
Dari
apa yang diformulasikan dalam Pasal 22 C dan Pasal 22 D UUD 1945 menunjukkan
betapa lemahnya peran dan fungsi DPD bila di bandingkan DPR. Lemahnya peran DPD
sebagai perwakilan local mengaburkan paradigma kedaulatan rakyat dan check and balances dalam konstitusi
kenegaraan Indonesia. Kalau dalam sistem ketatanegaraan yang menganut sistem
parlemen dua kamar (bicameral) murni,
kedua kamar diberi tugas dan wewenang yang sama misalnya dalam menetapkan
undang-undang, sedang yang terjadi di indonesia, konsep bikameral tidak
dijalankan dengan pembagian fungsi dan wewenang yang sama.
Konsep
atau gagasan awal reformasi konstitusi yang melahirkan DPD dilatarbelakangi
oleh beberapa hal, pertama gagasan untuk mengubah sistem perwakilan menjadi
sistem dua kamar (bicameral system).
Dalam sistem ini DPD akan bertindak sebagai The
Uppon House atau Majelis Tinggi, sedang DPR sebagai The Lower House atau Majelis Rendah. Kedua gagasan untuk
meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan
negara. Lahirnya DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan
sistem Utusan Daerah di MPR menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 sebelum
amandemen. Tetapi disamping gagasan tersebut alasan utamanya adalah kebutuhan
untuk mengartikulasikan aspirasi masyarakat daerah secara struktural yang
dianggap dapat mempresentasikan wilayah-wilayah, diharapkan mampu mengakomodasi
kepentingan masyarakat di daerah melalui institusi formal ditingkat nasional.
Karenanya UUD 1945 hasil amandemen seringkali menuai kritik karena dianggap
melahirkan DPD yang lemah.
B.
Strong atau Softh Bicameral?
Salah satu konsekuensi dua kamar (terdiri dari DPR
dan DPD), perlu nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan dua unsur
perwakilan tersebut, seperti congress
sebagai nama badan perwakilan yang terdiri dari Senate dan House
Representatives. Di kerajaan Belanda wadah badan perwakilan adalah "Staten General"yang terdiri
dari de Earste Kamer (Perwakilan dari
Daerah) dan De Tweede Kamer(Perwakilan
seluruh rakyat). Di Inggris badan perwakilan bernama Parliament yang terdiri dari house
of Lords (perwakilan golongan) dan house
of Commons (perwakilan seluruh rakyat). Begitulah yang terjadi pada setiap negara dengan sistem
perwakilan dua kamar (Bagir Manan, 2003 : 54).
Nampaknya nama yang
diinginkan untuk badan perwakilan dua kamar di Indonesia adalah tetap memakai
nama "Majelis Permusyawaratan Rakyat". Oleh karena itu konsekuensinya
adalah MPR tidak lagi menjadi suatu lingkungan jabatan tersendiri yang mempunyai
wewenang sendiri. Jadi wewenang MPR yang baru melekat pada wewenang DPR dan
DPD. Akan tetapi kalau melihat ketentuan Pasal 2 (1) dan pasal 3 (1,2,3) UUD
1945 sebelum diamandemen hanya ada dua badan perwakilan tingkat pusat yang
terpisah. Sekarang dengan hadirnya DPD ada tiga badan perwakilan. Sehingga
walaupun ada perubahan-perubahan terhadap MPR tapi MPR tetap mempunyai wewenang
sendiri secara original, yang berada diluar wewenang DPR dan DPD. Oleh karen
itu MPR sendiri masih tetap dapat memperahankan namanya, yaitu untuk menyebut
nama rumah bagi parlemen yang terdiri dari dua kamar tersebut (Jimly
Asshidiqieu, 2004:162)
Menurut teori
Arend Lijphart, sistem parlemen bikameral di Indonesia dikategorikan sebagai medium strength bicameralism dengan
konstruksi Asimetris dan Incongcruent. Asimetris dalam dalam hal
ini terlihat bahwa DPD mempunyai kekuasaan yang subordinat dari kamar pertama
(Pasal 22D). sedangkan Incongcruent
karena kamar pertma berbeda dengan kamar kedua. Kamar pertama merupakan
perwakilan daripartai politik sedang kamar kedua merupakan perwakilan
teritorial untuk memilih DPD (Arend Lijphart dalam Riri Nazriyah, 2007:337).
Sedangkan
menurut teori Andrew S.Ellis sistem parlemen bikameral di Indonesia
dikategorikan sebagai sistem bikameral lunak (softh bicameral). Karena, dalam hal ini kamar kedua (DPD) hanya
mempunyai hak untuk mengajukan rancanagn undang-undang, tetapi tidak menpunyai
hak untuk memveto atau menolak RUU tersebut. Lembaga perwakilan yang dirancang menjadi sistem
bikameral (dua kamar), sama sekali tidak mencerminkan sistem dua kamar dalam
losnsep perwakilan. MPR mempunyai anggota dan lingkungan wewenang sendiri,
demikian pula DPD dan DPR. Pengaturan semacam ini bukan menampakakn sistem dua
kamar, tetapi lebih mengarahkan kepada sistem tiga kamar dari adan perwakilan
yang mandiri (DPR, DPD, MPR). Dengan jumlah keanggotaan, kewenangan dan
kedudukan yang tidak setara arntara DPR dan DPD maka hal inilah yang mendasari
sistem yang dianut adalah sistem bikameral lunak atau (soft bicameral) (Andrew S.Ellis dalam Riri Nazriyah, 2007:337).
Sedang apabila
kedudukan legislasi antara kedua lembaga tersebut setara maka disebut strong bicameral.
C. PENGUATAN FUNGSI DPD
Hasil perubahan UUD 1945 yang
dilakukan sebanyak empat kali tersebut membawa implikasi pada perubahan yang
signifikan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan UUD 1945
tersebut dapat dikatakan belum sepenuhnya menjadi problem solving bagi penyelesesaian ketetanegaraan Indonesia.
Selain itu perubahan UUD 1945 masih jauh dari semangat reformasi yang
menghendaki sistem ketatanegaraan yang demokrasi dan semangat menata
kelembagaan negara sesuai dengan prinsip mengawasi dan mengimbangi atau prinsip
check and balances.
Indonesia bukan satu-satunya negara
yang majelis tingginya memiliki kewenangan formal yang sangat lemah seperti
yang dialami oleh DPD di Indonesia. Namun, Indonesia adalah satu-satunya negara
sengan sistem bikameral yang anggota-anggotanya dipilih langsung oleh rakyat
akan tetapi memiliki kewenangan yang
sangat rendah.
Ketidak
sebandingan kedudukan dan kekuasaan antara DPR dan DPD dapat dilihat dalam
Pasal 22 C ayat (2) UUD 1945. Dilihat dari pengisian keanggotaan DPD, posisi
DPD seharusnya lebih kuat dari DPR, karena keanggotaan DPD dipilih melalui
pemilu langsung oleh masyarakat sehingga lebih memiliki legitimasi yang kuat
dibandingkan dengan DPR yang pengisian keanggotaan DPR di dasarkan oleh
nominasi partai politik yang terpilih dimana lebih ditentukan oleh partai
politik itu sendiri.
Dengan fakta bahwa kewenangan yang
dimiliki oleh DPD di Indonesia sangat lemah dibanding DPR, maka muncul wacana
untuk mengoptimalkan peran DPD dalam sistem check
and balances dalam sistem bikameral yang ada di Indonesia. Sistem check and balances yang kuat bukan hanya
antar lembaga eksekutif dan legislatif saja, tetapi juga antar lembaga
legislatif yaitu DPR dan DPD.
Seperti yang dikemukakan oleh
Montesqieu, bahwa sistem dua kamar (bikameral) merupakan suatu mekanisme check and balances antara kamar-kamar
dalam suatu badan perwakilan. Akan tetapi di Indonesia, kewenangan yang
dimiliki oleh DPD tidak seimbang dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR.
Berdasarkan
kondisi tersebut,muncul keinginan untuk meningkatkan peran dan wewenang konstitusional
DPD setara dengan DPR dengan melakukan amandemen kembali UUD 1945. Adapun
materi muatan yang terkait dengan DPD dan perlu amandemen, misalnya DPD tidak
lagi sekedar ikut membahas RUU tertentu saja,tetapi dapat menolak atau
menyetujui seluruh RUU. Mengenai pemberhentian presiden atau wakil presiden
(Pasal 7A),bukan oleh MPR atas usul DPR saja,tetapi DPD harus ikut sesuai
dengan prinsip check and balances .
Sebagaimana
diuraikan sebelumnya, kedudukan DPR adalah sangat kuat dengan segala fungsi dan
kewenangannya, sedangkan DPD walau memiliki legitimasi yang karena
keanggotaannya dipilih secara langsung dalam pemilu, namun memiliki kekuasaan
yang terbatas. Dalam proses politik terutama dalam melaksanakan fungsi
legislasi, anggaran dan pengawasan, DPD hanya mempunyai wewenang sampai pada
tingkat mengajukan usulan dan memberikan pertimbangan, sehingga tidak memiliki
kekuasaan untuk membuat undang-undang, DPR tidak sejajar dengan DPR, karena ia
tidak dapat menjadi lembaga pengimbangan dari DPR, dimana sistem yang efektif
dalam suatu organisasi seharusnya bersandar pada prinsip check and balances antara dua lembaga perwakilan yang melahirkan
undang-undang, anggaran dan pengawasan.
Untuk
mengefektifkan posisi DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah, serta dalam
meningkatkan peran DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia khusus dalam
mengembangkan sistem check and balances antar lembaga negara, maka perlu
amandemen terhadap Pasal-Pasal yang mengatur tentang DPD.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
pada uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa:
1.
Dengan
dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah ternyata tidak untuk menggantikan
keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari unsur utusan daerah, karena
menurut ketentuan-ketentuan yang baik dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen
maupun UU. No. 22 Tahun 2003 tentang SUSDUK, keberadaan DPD tidak dapat
mencerminkan aspirasi dan keterwakilan rakyat daerah di pemerintah pusat. DPD
yang semula dihajadkan untuk mewakili rakyat daerah ternyata hanya sebatas
menyarankan memberi pertimbangan dan dapat ikut serta saja. Keputusan
secara final tetap ada pada pemerntah pusat.
2.
Kehadiran lembaga Dewan Perwakilan
Daerah juga untuk tidak mengubah sistem monocameral menjadi bikameral (sistem
dua kamar) karena hingga saat ini MPR tetap merupakan lingkungan jabatan kerja
tetap tersendiri. Di luar wewenang DPR dan DPD. (pasal 3 UUD 1945 baru). DPD
seolah-olah merupakan lingkungan jabatan yang mandiri, tetapi tidak kita
perhatikan pasal 22 D UUD 1945 baru maka DPD hanyalah sebuah badan
komplementer/ pelengkap dari DPR.
3.
Lembaga Dewan Perwakilan Daerah ini
bukan merupakan badan legislatif yang penuh, karena DPD hanya berwenang
mengajukan serta membahas undang-undang di bidang tertentu saja yang sudah
disebutkan secara rinci dalam UUD maupun UU SUSDUK. DPD hanya berhak memberi
pandangan, pendapat, tanggapan pada pembahasan RUU di tingkat pertama, sedang
pembahasan berikutnya menjadi wewenang DPR dan pemerintah. DPD tidak lagi turut
serta. Dalam hal pengawasan pelaksanaan undang-undang DPD hanya berwenang
memberikan pertimbangan kepada DPR untuk ditindak lanjuti.
4.
System bicameral yang dianut dalam sitem
parlemen di Indonesia yaitu softh
bicameral system, karena
berdasarkan jumlah keanggotaan, kewenangan dan kedudukan yang tidak setara
arntara DPR dan DPD.
Saran
Terus bergulirnya
wacana tentang amademen kembali UUD 1945 tidak anya terkait akan kebutuhan
penguatan DPD saja tetapi juga dalam rangka penyempurnaan sisem pemerintahandan
rekonstruksi sistem perwakilan di Indonesia.
Apabila format
presidensialisme menjadi pilihan kita maka sebagai konsekuensi logisna, pertama
yakni mekanisme check and balances anatara Presiden dan parlemen (DPR dan DPD)
harus lebih diperkuat anatara lain melalui hak veto yang dimiliki Presiden dan
hak veto yang dimiliki oleh DPR dan DPD melalui sidang (MPR), yang saat ini
sesuai UUD 1945 pasal 20 A ayat (5) yang memiliki hak veto dalam proses
legislasi hanya DPR.
Kedua harus dibangun sistem parlementer dua
kamar (bicameral) antara DPR dan DPD yang kekuasaannya bukan saja hamper setara
tetapi juga bias saling control satu sama lain, ayang artinya terjadi chek and
balances antara kedua lembaga tersebut. Dan dengan dibuat
bicameral yang lebih kuat dalam konstitusi, yaitu diharapkan dapat menguatkan
wewenang DPD. Argumentasinya:
(i)
Gagasan awal gagasan bikameral di Indonesia adalah untuk mengakomodasi
kepentingan masyarakat daerah. Sebab, Indonesia memiliki kondisi geografis
dengan wilayah yang sangat luas dan penduduk yang sangat beragam dari segi
etnik dan latar belakang, sehingga menghaislkan kepentingan yang berbeda-beda.
Untuk itulah, wewenang kamar di parlemen yang mewakili daerah harus lebih
besar.
(ii)
Diperkenalkannya bikameral juga karena perlunya checks and balances di
dalam parlemen itu sendiri. Dengan demikian, apabila wewenang DPD masih jauh
dari DPR, tujuan untuk menghasilkan checks and balances ini tidak akan
tercapai.
Ketiga, apabila dilakukan amandemen kebali terhadap
UUD 1945 maka, Pasal mengenai DPD sekurang-kurangnya mengatur bahwa:
(i)
DPD juga mempunyai wewenang membahas dan
ikut memutuskan mengenai seluruh RUU yang dibahas di DPR.
(ii)
Namun wewenang untuk mengajukan RUU,
hanya terbatas pada RUU bidang tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah.
(iii) Harus
diatur ketentuan yang lebih jelas untuk prosedur pembahasan RUU antara DPR dan
DPD.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew Lijpart, Democraties Pattern of Majoritarian and
Consencus Government in Twenty One Centuries. (New Haven and London: Yale
University Press, 1984) hal 211 dalam Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Bagir Manan. 2001. Teori dan Politik Konstitusi. Jakarta : Dirjen Dikti Dep Dik Nas.
Bagir Marian. 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 baru. Yogyakarta : FH U I I Press.
Bivitri Susanti dkk,
Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga
Kepresidenan, (Jakarta: PSHK, 2000)
Hadi Setia Tunggal. 2000. Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta :
Harvarindo.
Jimly Asshiddiqie. 2004. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945.
Yogyakarta: UII PRESS.
Maria Farida Indrati Soeprato. 1998. llmu Perundang-Undangan. Yogyakarta :
Kanisius.
Munir Fuadi. 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat).
Bandung: PT. Rineka Aditama. hal 124
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian
Hukum. Jakarta: Kencana.
Riri Nazriyah. 2007. MPR RI, Kajian Terhadap Produk Hukum dan
Prospek Masa Depan. Yogyakarta: UII PRESS.
Soehino. 1980. Perkembangan
Pemerintahan Di Daerah. Yogyakarta : Liberty.
Soehino. 1981. Hukum
Tata Negara (Tehnik
Perundang-Undangan). Yogyakarta : Liberty.
Soekanto, Soerjono.
1985. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sri Sumantri. 1986. Tentang lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung : Alumni.
S. Toto Pandoyo. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Lembaga-Lembaga Negara
Dan Pemerintah Pusat.
Persandingan Undang-Undang
Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jendral MPR RI.
Jakarta. 2002
Disertasi Saldi
Isra. 2000 Pergeseran Fungsi Legislasi
Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. UGM.
Yogyakarta.
http://google.com./Dilema%20DPD%20dan%20Restrukturisasi%20Sistem%20Perwakilan.htm.
Oleh Syamsuddin Haris:Dilema DPD dan Restrukturisasi Sistem Perwakilanhttp://sopopatarma.wordpress.com. Oleh Janparta Simamora. Problemantika Fungsi Legislasi DPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar