TINJAUAN TENTANG
PERATURAN DAERAH (1)
Menurut Van Der Tak dalam Aziz
Syamsudin, peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertulis yang dibuat
oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat
abstrak dan mengikat umum.[1]
Istilah perundang-undangan (legislation
atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:
1)
Perundang-undangan sebagai sebuah proses
pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah;
2)
Perundang-undangan sebagai segala
peraturan negara, yang merupakan hasil proses pembentukan peraturan-pearaturan,
baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Sedangkan ihwal definisi dari
perudang-undangan menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yakni :
“peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-udangan”.[2]
Dalam UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 menyebutkan
bahwa jenis dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia terdiri
atas:
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.
Ketepatan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Penggati Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah;
5.
Peraturan Presiden;
6.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam tataran pemerintahan local, aspek hukum dalam
penyelenggaraan Pemerintah Daerah di era otonomi merupakan salah satu aspek
yang sangat terkait dengan keseluruhan aktifitas penyelenggaraan Pemerintah
Daerah. Pemerintah Daerah, dengan hubungan kemitraan antara DPRD selaku Badan
Legislatif Daerah dengan Kepala Daerah beserta jajarannya selaku Lembaga
Eksekutif Daerah, tercermin dari produk hukum yang dihasilkan, yakni berupa
Peraturan Daerah baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
1.
Pengertian Peraturan Daerah
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Sedang di dalam UU No 12 Tahun 2011 yang terdapat dua
pengertian tentang peraturan daerah, yakni peraturan daerah provinsi dan
peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah provinsi adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah Kabupaten/Kota
adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan
Daerah, peraturan daerah di bentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri
khas masing-masing daerah.
Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk perturan
perundang-undangan merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum nasional.
Peraturan daerah yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh metode dan
standar yang tepat sehingga memenuhi teknis pembentuka peraturan perundang-undangan,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
2.
Landasan-Landasan Pembentukan
Peraturan Daerah
Sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan di Indosesia, peraturan daerah dalam pembentukannya tunduk
pada sas maupun teknik dalam penyusunan perundang-undangan yang telah
ditentukan. Hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan diantaranya adalah menyangkut tentang landasannya. Landasan
yang dimaksud disini aadalah pijakan, alasan atau latar belakang mengapa perundangan-undangan
itu harus dibuat.
Menurut Bagir Manan ada 4 Landasan yang
digunakan dalam menyususn perundang-undangan agar menghasilkan
perundang-undnagan yang tangguh dan berkualitas.[3]
a)
Landasan yuridis
Yakni
ketentuan hukum yang menjadi dasar kewenangan (bevoegheid, competentie)
pembuat peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan pejabat atau badan
mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam perundang-undnagan atau tidak. Hal
ini sangat penting untuk disebutkan dalam perundang-undangan karena seorang
pejabat/suatu badan tidak berwenang (onbevogheid) mengeluarkan aturan.
Landasan
ini dibagi menjadi dua:
1)
Dari segi formil landasan ini memberikan
kewenangan bagi instansi tertentu untukmembuat peraturan tertentu
2)
Dari segi materiil sebagai dasar hukum
untuk mengatur hal-hal tertentu
Landasan
yuridis dari penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi 3 hal:
1)
Kewenangan dari pembuat
perundang-undangan
2)
Kesesuaian bentuk dan jenis perauran
perundang-undangan dengan materi yang diatur
3)
Keharusan mengikuti tata cara tertentu
pembuatan perundang-undangan
Dalam
suatu perundang-undangan landasan yuridis ini ditempatkan pada bagian
konsideran “mengingat”
b)
Landasan Sosiologis
Yakni
satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat dipahami oleh
masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup. Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk
harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat.[4]
Dalam
kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak mungkin lepas dari
gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dengan melihat kondisi sosial yang
terjadi dalamasyarakat dalam rangka penyususnan suatu perundang-undnagnan maka
tidak begitu banyak lagi pengarahan institusi kekuasaan dalam melaksanakannya.
c)
Landasan Filosofis
Yaitu
dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar sewaktu menuangkan
hasrat dan kebijakan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan
negara. Suatu rumusan perundang-undnagan harus mendapat pembenaran (recthvaardiging)
yang dapat diterima dan dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai
dengan cita-cita dan pandangan hidup maysarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée
der waarheid), cita-cita keadilan (idée der grerecthsigheid) dan
cita-cita kesusilaan (idée der eedelijkheid).[5]
Dengan
demikian perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofis
grondflag) apabila rumusannya mendapat pembenaran yang dikaji secara
filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi indul dari landasan
filosofis ini adalah pancasila sebagai suatu sistem nilai nasional bagi sistem
kehidupan bernegara.
d)
Landasan Politis
Yakni
garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan dan
pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara, hal ini dapat diungkapkan pada
garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah (Prolegda), dan juga kebijakan
Program Pembangunan Nasioal (Propenas) sebagai arah kebijakan pemerintah yang
akan di laksanakan selama pemerintahannya ke depan. Ini berarti memberi
pengarahan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh
badan atau pejabat yang berwenang.
Selain
landasan tersebut diatas masih ada beberapa landasan yang dapat digunakan
diantaranya, landasan ekonomis, ekologis, cultural, religi, administratif dan
teknis perencanaan yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan
perundang-undngan yang baik di semua tingkatan pemerintah.
[1] Van Der Tak dalam Aziz
Syamsudin, 2011, Proses dan Teknik Perundang-Undangan,
Jakart: Sinar Garfika, hlm 13.
[2] UU No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[3] Bagir Manan dalam W. Riawan
Tjandra dan Kresno Budi Harsono, 2009, Legislatif
Drafting Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Yogyakarta:
Universitas Atmajaya.
[4] Rosyidi Ranggawidjaja dikutip
oleh Soimin, 2010, Pembentkan Peraturan Negara Di Indonesia.
[5] Budiman NPD , 2005 ,Ilmu
Pengantar Perundang-Undnagan UII press Yogyakarta, hlm 33.